Ketika ku terduduk menikmati pertandingan sore anak-anak dikampungku dari sudut belakang rumahku yang berhadapan langsung dengan lapangan, tak sengaja aku melihat sesosok laki-laki asing dibelakang pohon beringin -merupakan satu-satunya pohon paling rindang serta paling tua yang masih bertahan dikampungku dan berada cukup jauh dari lapangan- menatap lurus memandangi lapangan hijau di hadapannya. Letak laki-laki dibelakang pohon dengan diriku cukup dekat. Hanya mungkin sejauh lebar lapangan bola. Meskipun demikian, laki-laki dibelakang pohon itu tak sedetikpun melihat sekelilingnya. Hanya menatap lurus lapangan dan anak-anak yang sedang bermain. Awal kali aku menatap curiga terhadapnya, mengapa terdapat laki-laki asing menatap lapangan sambil bersembunyi. Tapi rasa itu seolah hilang saat ku terus memandangi laki-laki dibelakang pohon itu. Mengamati seluruh tingkah laku laki-laki dibelakang pohon itu.
Laki-laki dibelakang pohon itu tak pernah ku kenal. Tak pernah sekalipun selama aku hidup didaerah ini, laki-laki dibelakang pohon itu bersliweran di area kampung ini. Sepertinya cukup lama laki-laki dibelakang pohon itu berada disana menatap ke tengah lapangan. Bahkan mungkin sebelum aku duduk di sudut belakang rumahku ini.
Laki-laki setengah baya dengan kulit putih pucat, rambut ikal cepak kecoklatan, mengenakan kaos tipis dengan celana tiga perempat yang jatuh di bagian lutut. Serta laki-laki dibelakang pohon itu mengenakan sandal jepit tipis sebagai alas untuk kakinya yang lebar. Meski demikian aku masih melihat garis ketampanan diwajahnya. Hanya saja wajahnya layu tak terawat. Dengan membiarkan jambang, kumis serta jenggot jarang-jarang tumbuh tak teratur menutupi wajahnya yang lonjong.
Tubuh yang dimiliki laki-laki dibelakang pohon itu pun termasuk dalam ukuran cukup tinggi meskipun kurus dengan membiarkan urat-urat nadinya terlihat menonjol. Dengan kaki jenjangnya menjadikan laki-laki dibelakang pohon itu mengamati pertandingan anak-anak dilapangan dengan sedikit membungkuk agar tak terlihat oleh orang lain. Meskipun ia tak membungkukkan badannya, tak kan mungkin terlihat kehadiran laki-laki itu oleh anak-anak yang bermain di lapangan. Jarak antara laki-laki dibelakang pohon itu dengan lapangan cukup jauh dan juga anak-anak pasti sibuk dengan permainannya.
Aku tak tahu mengapa laki-laki itu lebih memilih tempat dibelakang pohon beringin. Mengapa ia tak memilih menonton mereka langsung dilapangan. Pikiranku terus mempertanyakan apa yang dilakukan oleh laki-laki dibelakang pohon itu.
Lama ku amati laki-laki dibelakang pohon itu. Tetapi sepertinya laki-laki dibelakang pohon itu tidak menyadari tatapan yang terus kulempar ke arahnya. Tetap saja laki-laki dibelakang pohon itu menatap lurus ke lapangan. Dengan pandangannya yang layu. Sambil menempelkan kedua telapak tangannya dipohon. Dan sesekali terlihat juga laki-laki dibelakang pohon itu mencakar-cakar kulit pohon dan berkomat-kamit seolah mengguman dan berbicara dengan orang lain. Aku tak tahu apa yang laki-laki dibelakang pohon itu katakan. Yang jelas tampak sekali dia sedang gundah.
******************
Aku menatap lapangan yang ada didepanku. Banyak kulihat anak-anak seumuran buah hatiku berlarian di lapangan. Tetapi banyak juga anak-anak sebaya mereka berdiri di pinggir lapangan. Menjadi penonton saja cukup bagi mereka untuk meramaikan suasana. Kemudian ku berguman dan tenggelam dalam pikiranku.
Lis... kau tahu apa yang kulakukan saat ini? Aku sedang memandangi anak-anak itu bermain bola. Saat ini mereka sedang membagi tim mereka dengan bergurau. Saling mendorong, memukul, mengejek dengan perasaan anak-anak. Lis... mereka polos! Seperti buah hatiku yang telah kau rampas.
Lis... lihat! Mereka mulai bermain. Lis... Lihatlah mereka bermain. Lucu sekali. Mereka menendang-nendang serta memperebutkan sebuah bola dengan susah payah. Mereka berlari-lari, mengoper, berlari lagi dan menggiring bola untuk dimasukkan ke gawang lawan. Meskipun laju bola lebih cepat dari langkah mereka yang setapak-setapak itu. Bahkan sesekali mereka terjatuh tersenggol teman mereka.
Tetapi Lis... Lihatlah mereka! Meskipun mereka terjatuh karena tersenggol temannya, mereka tak ribut. Mereka malah tertawa setelah terjatuh. Mereka menyadari ini hanya sebuah permainan. Lis... Indah sekali pemandangan disini.
Lis... mengapa kau tak pernah dapat memahami serta menikmati semua ini? Lis... mengapa yang dapat kau pikirkan hanyalah bagaimana menggapai matahari? Sedangkan menggapai matahari tak kan mungkin tempuh dengan mudah.
Lis... aku tak ingin kau terus memanjakan ambisimu. Aku tertekan dan muak dengan segala angan-anganmu tentang matahari. Kau terus mengagung-agungkan matahari. Kau selalu mengatakan bahwa tak kan sempurna kehidupan tanpa kehadiran matahari. Apakah memiliki matahari dapat menjadikanmu puas? Sedangkan kau sendiri tau bahwa matahari takkan pernah dapat tunduk oleh apapun. Matahari sungguh angkuh. Lebih angkuh dari dirimu.
Apa kau juga akan mengajarkan buah hatiku untuk menggapai matahari pula? Kejam kau Lis! Buah hatiku tak berdosa!
Lis... Cobalah untuk mengerti aku juga. Cobalah untuk memahami keadaanku yang memang rapuh ini. Ku hanya mampu untuk menancapkan kakiku ditanah. Sulit bagiku untuk menggapai matahari seperti dirimu.
Kau tau sendiri kan kalau aku begitu mencintai tempatku dengan segala kekurangannya. Lis... dapatkah kau melihat ini semua disana?
Ah..tapi pasti percuma kalau kau melihatnya. Yang ada dihadapanmu perbuatanku hanyalah cara untuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Tak berguna. Tak bermakna. Benar kan Lis?
Dan Lis... maafkan aku. Aku tak mampu lagi untuk menjadi apa yang kau mau. Aku lebih memilih untuk pergi meninggalkanmu. Tanah ini. Rumput ini. Udara ini. Ini adalah tempatku. Dan aku ditakdirkan untuk menjaga tanah dan rumput ini.
Lis... ini keputusanku. Mungkin kita tak kan dapat bertemu kembali. Tetapi kau telah terlanjur membawa pergi jauh buah hatiku menuju angan-anganmu dan meninggalkan titik kenangan yang mendalam dihatiku.
Lis... bisakah kau dengar kata-kataku?
******************
Bosan juga mengamati laki-laki di belakang pohon itu. Yang dilakukan hanya berdiri sambil berkomat-kamit. Kemudian kualihkan pandanganku ke lapangan dimana anak-anak kampungku bersorak-sorai ketika peluit menandakan pertandingan telah usai.
Anak-anak itu riuh puas dengan pertandingan hari ini sambil bersalaman yang kemudian saling berpelukan.
Ketika permainan bola anak-anak telah usai, serta mereka berjalan kembali kerumah masing-masing, ku lihat laki-laki dibelakang pohon itu terduduk sambil mencakari, menggaruk-garuk, mengkuliti kulit pohon dengan kuku-kuku sambil sesekali melayangkan tinju dari tangannya yang putih ke arah pohon beringin itu. Laki-laki dibelakang pohon itu terus menerus melakukan hal itu. Mencakar, menggaruk, mengkuliti dan meninju pohon itu. Seakan laki-laki dibelakang pohon itu ingin mencabik-cabik dan merobek-robek pohon beringin dihadapannya. Krek...krek...krek... terus ia melakukannya.
Secuil demi secuil ia merobek batang pohon itu. Hingga kedua jari-jarinya keluar cairan merah mengental.
Aku mulai mengkhawatirkan apa yang ia lakukan. Laki-laki itu tak berheni mencakar, menggaruk, mengkuliti serta meninju pohon itu meskipun darah mulai membungkus jari-jari serta menempel di pohon beringin itu.
Perbuatan bodoh! batinku. Meskipun aku tak tahu apa masalah yang dihadapi laki-laki dibelakang pohon itu, tapi tak kan mungkin ia dapat merobek-robek isi pohon beringin itu hanya dengan jari-jarinya yang kurus itu. Aku bangkit dari dudukku disudut belakang rumahku. Aku akan menemui laki-laki bodoh itu. Menghentikan perbuatan bodohnya dan mengobati lukanya. Tetapi ketika ku akan menuju laki-laki dibelakang pohon itu, ku lihat laki-laki dibelakang pohon itu mengusap-usap darah yang membungkus jari-jarinya ke rumput dibawahnya hingga tak terlihat lagi bekasnya. Kemudian laki-laki dibelakang pohon itu bangkit dan berjalan meninggalkan pohon beringin yang telah ia cabik-cabik dengan pandangan matanya yang sayu menuju ke arah matahari tenggelam sambil tertatih-tatih.
********************
Berjalan sambil menatap matahari, aku berguman:
Lis... Gapailah matahari. Biarkan aku terdiam disini merenungi nasibku.
Lis... Menyatulah dengan matahari dan tetap biarkan aku terdiam sambil berharap matahari dapat berbelas kasih kepadaku.
Lis... Aku akan berjalan mengikuti matahari hingga kebahagiaan yang datang menemuiku dan aku dapat menemuimu.
Entah sampai kapan!!
Aku saat ini berjalan tanpa tujuan. Menjaga apa yang telah aku pilih.
“Tak kan mampu ku arungi hidup ini
ketika ku hanya seonggok luka tanpa daya
tapi ku sadari titik jiwamu telah menuntunku
untuk terus tersadar dari mimpi burukku”
Surabaya, April 2007
Comments (0)
Post a Comment
kritik/saran donkz